Jumat, 19 September 2008

Tugas Manejemen Media II (Kegagalan Manajemen)

VISIT INDONESIA YEAR 2008

Pemerintah mencanangkan tahun 2008 sebagai tahun pariwisata bagi bangsa Indonesia, karena sejak akhir tahun 2007 atau tepatnya pada bulan Desember 2007 pemerintah melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik telah meresmikan program Visit Indonesia Year (VIY) 2008. Program tersebut diharapkan dapat memberi angin segar bagi pariwisata bangsa ini karena sebagaimana kita tahu keberadaan dunia pariwisata Indonesia terpuruk setelah tragedi bom Bali pertama tahun 2002 silam. Selain itu program Visit Indonesia Year (VIY) 2008 digelar untuk memperingati 100 tahun kebangkitan nasional.
Untuk mendukung program tersebut, pemerintah telah menyiapkan 100 event pariwisata yang akan digelar di seluruh wilayah Indonesia untuk menyambut kedatangan wisatawan mancanegara (wisman). Melalui Visit Indonesia Year (VIY) 2008, pemerintah menargetkan dapat mendatangkan sebanyak-banyaknya kurang lebih 7 juta wisman meskipun target jumlah kunjungan wisman tahun 2006 yang seharusnya 6 juta wisman hanya mencapai 5,5 juta wisman, namun pemerintah melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata optimis untuk dapat mencapai target tersebut.
Namun program besar yang telah dirancang oleh pemerintah tersebut nampaknya masih mengalami banyak kegagalan manajemen. Mulai dari kurangnya publikasi tentang program tersebut, dan juga tidak adanya perbaikan sarana dan prasarana untuk menunjang program besar tersebut. Coba saja kita lihat di sekeliling kita, apakah publikasi tentang program tersebut sudah lebih dari cukup, ataukah masih kurang?? Karena, saya sendiri baru mengetahui adanya program tersebut pada pertengahan tahun 2008 ini (entah apakah saya yang kurang informasi), tetapi yang jelas di jalan protokol kota Yogyakarta tidak ada spanduk ataupun selebaran tentang agenda besar pemerintah tersebut. Atau mungkin hanya saya yang merasakan seperti ini? Atau banyak masyarakat yang merasakan seperti ini? Karena saat iseng - iseng browsing di internet tentang program Visit Indonesia Year 2008, memang banyak masyarakat yang tidak mengetahui agenda tersebut. Sangat tidak lucu apabila bangsa ini membuat program yang sebegitu besar tetapi masyarakatnya tidak mengetahui adanya program tersebut.
Selain itu, program besar pemerintah tersebut juga tidak ditunjang dengan pengadaan fasilitas untuk menunjang Program Visit Indonesia Year 2008 tersebut. Sebagai contoh adalah toliet yang tidak terawat yang ada di Bandara Soekarno Hatta, yang notabene Bandara tersebut adalah gerbang utama wisatawan mancanegara untuk memasuki Indonesia. Bagaimana kesan pertama para wisatawan mancanegara apabila mengetahui fasilitas yang ada di Bandara terbesar di Indonesia tersebut? Apakah seperti itu program Visit Indonesia Year 2008?
Menurut saya, hal ini merupakan kegagalan manajemen dari pemerintah karena pemerintah tidak memikirkan hal - hal atau kemungkinan terkecil yang bisa memberi nilai negatif dari program Visit Indonesia Year 2008.

Noveradika Priananta
Ilmu Komunikasi, 153030037

Selasa, 16 September 2008

Tugas Manajemen Media

KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS ELPIJI

Pertengahan tahun 2007 pemerintah membuat kebijakan untuk mengkonversi minak tanah ke gas elpiji dengan alasan untuk mengurangi subsidi minyak tanah untuk keperluan rumah tangga yang nilainya mencapai 30 triliun. Selain itu, alasan lain diberlakukannya konversi tersebut karena penggunaan gas elpiji lebih ramah lingkungan daripada minyak tanah. Memang pada dasarnya konversi tersebut memiliki efek yang bagus, tetapi dalam penerapan kebijakannya pemerintah melakukan sejumlah kesalahan mendasar yang menimbulkan masalah masyarakat.
Sejak awal, pemerintah memang sudah tidak konsisten dengan keputusannya. Hal ini terbukti dengan dibatalkannya gagasan konversi minyak tanah ke batu bara pada tahun 2006 oleh Wapres Jusuf Kalla, tentu saja ini membuat kecewa masyarakat yang sudah mulai bersiap-siap mengganti minyak tanah ke batu baru. Dan juga mengecewakan para perajin tungku batu bara dan para peneliti yang telah berhasil membuat tungku batu bara modern, yang bisa mengatur nyala api dan menghemat pemakaian batu bara. Di sejumlah pameran, misalnya, kreativitas masyarakat membuat tungku batu bara sudah mulai bermunculan guna menyambut era konversi minyak tanah ke batu bara itu. Beberapa peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan perguruan tinggi, seperti di Universitas Sriwijaya, Palembang, telah berhasil membuat alat sederhana untuk mencairkan batu bara. Batu bara cair ini harganya lebih murah daripada minyak tanah dan sangat mudah pemakaiannya, sama seperti pemakaian minyak tanah. Baiknya lagi, semua jenis batu bara--baik yang muda (kadar karbonnya rendah) maupun yang tua (kadar karbon tinggi), bisa dicairkan. Dan batu cair ini ternyata tidak hanya bisa dipakai sebagai pengganti minyak tanah, tapi juga pengganti solar. Bahkan dengan sedikit treatment kimia, batu bara cair pun bisa diubah jadi premium.
KOnversi minyak tanah ke gas elpiji memang menimbulkan banyak pro dan kontra. Selain alasan di atas, pemerintah terkesan sangat tidak siap dengan kebijakan mengkonversi minyak tanah ke gas karena tidak memikirkan beberapa aspek yang ada di masyarakat. Misalnya dari segi aspek fisik, minyak tanah bersifat cair sehingga transportasinya mudah, pengemasannya mudah, dan penjualan sistem eceran pun mudah. Masyarakat kecil, misalnya, bisa membeli minyak tanah hanya 0,5 liter (katakanlah Rp 1.500 dengan harga subsidi) dan mereka dapat membawanya sendiri dengan mudah. Minyak tanah 0,5 liter bisa juga dimasukkan ke plastik. Kondisi ini tak mungkin bisa dilakukan untuk pembelian elpiji. Ini karena elpiji dijual per tabung, yang isinya 3 kg, dengan harga Rp 14.500-15.000. Masyarakat jelas tidak mungkin bisa membeli elpiji hanya 0,5 kg, lalu membawanya dengan plastik atau kaleng susu bekas. Kedua, dari aspek kimiawi. Elpiji jauh lebih mudah terbakar (inflammable) dibanding minyak tanah. Melihat perbedaan sifat fisika dan kimia (minyak tanah dan elpiji) tersebut, kita memang layak mempertanyakan sejauh mana efektivitas dan keamanan kebijakan konversi tersebut. Kondisi ini tampaknya belum diperhatikan pemerintah. Bagi rakyat kecil, membeli bahan bakar Rp 15 ribu sangat memberatkan, karena penghasilan mereka tiap hari hanya cukup untuk makan sehari, bahkan terkadang kurang. Ini berbeda dengan minyak tanah yang bisa dibeli eceran, satu atau bahkan setengah liter sekalipun. Dari aspek ini, kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji akan menimbulkan masalah seperti yang disebutkan di atas.
Dengan demikian, mestinya kebijakan konversi gas tersebut perlu ditinjau ulang dan direvisi secara komprehensif. Dalam kaitan ini, kondisi masyarakat dan peta sosial ekonomi wilayah yang bersangkutan mestinya dikaji terlebih dulu oleh pemerintah sebelum menetapkan kebijakan konversi minyak tanah ke gas elpiji.


Noveradika Priananta
Ilmu Komunikasi / 153030037